Sandal Jepit Isteriku

Selasa, 28 April 2009 0 komentar
Selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa kesal dan jengkel
yang
memenuhi kepala ini. Duh... betapa tidak gemas, dalam keadaan lapar
memuncak seperti ini makanan yang tersedia tak ada yang memuaskan
lidah.
Sayur sop ini rasanya manis bak kolak pisang, sedang perkedelnya
asin
nggak ketulungan.
"Ummi... Ummi, kapan kau dapat memasak dengan benar...? Selalu
saja,

kalau tak keasinan...kemanisan, kalau tak keaseman... ya
kepedesan!"
Ya,
aku tak bisa menahan emosi untuk tak menggerutu.
"Sabar bi..., rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan
Khodijah. Katanya mau kayak Rasul...? " ucap isteriku kalem.
"Iya... tapi abi kann manusia biasa. Abi belum bisa sabar seperti
Rasul.
Abi tak tahan kalau makan terus menerus seperti ini...!" Jawabku
dengan
nada tinggi. Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat
isteriku
menundukkan kepala dalam-dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin pasti
air
matanya sudah merebak.

***

Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini
penuh
dengan jumput-jumput harapan untuk menemukan 'baiti jannati' di
rumahku.
Namun apa yang terjadi...? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa
yang
kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh
keliling.
Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal burak
(pecah). Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung di sana
sini.
Piring-piring kotor berpesta pora di dapur, dan cucian... ouw...
berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang menyengat,
karena
berhari-hari direndam dengan detergen tapi tak juga dicuci. Melihat
keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut dada.

"Ummi...ummi, bagaimana abi tak selalu kesal kalau keadaan terus
menerus
begini...?" ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Ummi...
isteri
sholihat itu tak hanya pandai ngisi pengajian, tapi dia juga harus
pandai dalam mengatur tetek bengek urusan rumah tangga. Harus bisa
masak, nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah...?" Belum sempat
kata-kataku habis sudah terdengar ledakan tangis isteriku yang
kelihatan
begitu pilu. "Ah...wanita gampang sekali untuk menangis...,"
batinku
berkata dalam hati.
"Sudah diam Mi, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi isteri
shalihat...?
Isteri shalihat itu tidak cengeng," bujukku hati-hati setelah
melihat
air matanya menganak sungai dipipinya.
"Gimana nggak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus.
Rumah
ini berantakan karena memang ummi tak bisa mengerjakan apa-apa.
Jangankan untuk kerja untuk jalan saja susah. Ummi kan muntah-
muntah
terus, ini badan rasanya tak bertenaga sama sekali," ucap isteriku
diselingi isak tangis. "Abi nggak ngerasain sih bagaimana maboknya
orang
yang hamil muda..." Ucap isteriku lagi, sementara air matanya
kulihat
tetap merebak.

***

Bi..., siang nanti antar Ummi ngaji ya...?" pinta isteriku.
"Aduh, Mi... abi kan sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri saja
ya?"
ucapku.
"Ya sudah, kalau abi sibuk, Ummi naik bis umum saja, mudah-mudahan
nggak
pingsan di jalan," jawab isteriku.
"Lho, kok bilang gitu...?" selaku.
"Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti ini kepala Ummi gampang
pusing
kalau mencium bau bensin. Apalagi ditambah berdesak-desakan dalam
dengan
suasana panas menyengat. Tapi mudah-mudahan sih nggak kenapa-
kenapa,"
ucap isteriku lagi.
"Ya sudah, kalau begitu naik bajaj saja," jawabku ringan.

0 komentar:

Posting Komentar