LOS FELIDAS 2

Selasa, 28 April 2009 0 komentar
Pagi itu Serrafona sedang membersihkan kamar mendiang
ayahnya yang sudah tidak pernah dipakai lagi, dan di laci
meja kerja ayahnya ia melihat selembar foto seorang anak
bayi yang digendong sepasang suami istri.
Selimut yang dipakai untuk menggendong bayi itu lusuh,
dan bayi itu sendiri tampak tidak terurus, karena walaupun
wajahnya dilapisi bedak tetapi rambutnya tetap kusam.
Sesuatu ditelinga kiri bayi itu membuat jantungnya
berdegup kencang. Ia mengambil kaca pembesar dan
mengkonsentrasikan pandangannya pada telinga kiri itu.

Kemudian ia membuka lemarinya sendiri,
dan mengeluarkan sebuah kotak kayu mahoni. Di dalam
kotak yang berukiran indah itu dia menyimpan seluruh
barang-barang pribadinya, dari kalung-kalung berlian
hingga surat-surat pribadi. Tapi diantara benda-benda
mewah itu terdapat sesuatu terbungkus kapas kecil,
sebentuk anting-anting melingkar yang amat sederhana,
ringan dan bukan emas murni. Ibunya almarhum
memberinya benda itu sambil berpesan untuk tidak
kehilangan benda itu. Ia sempat bertanya, kalau itu
anting-anting, dimana satunya. Ibunya menjawab bahwa
hanya itu yang ia punya. Serrafona menaruh anting-anting
itu didekat foto. Sekali lagi ia mengerahkan seluruh
kemampuan melihatnya dan perlahan-lahan air matanya
berlinang.

Kini tak ada keragu-raguan lagi bahwa bayi itu adalah
dirinya sendiri. Tapi kedua pria wanita yang
menggendongnya, yang tersenyum dibuat-buat,
belum penah dilihatnya sama sekali. Foto itu seolah
membuka pintu lebar-lebar pada ruangan yang selama ini
mengungkungi pertanyaan-pertanyaannya, misalnya:
kenapa bentuk wajahnya berbeda dengan wajah kedua
orang tuanya, kenapa ia tidak menuruni golongan darah
ayahnya.

Saat itulah, sepotong ingatan yang sudah seperempat abad
terpendam, berkilat di benaknya, bayangan seorang wanita
membelai kepalanya dan mendekapnya di dada.
Di ruangan itu mendadak Serrafona merasakan betapa
dinginnya sekelilingnya tetapi ia juga merasa betapa
hangatnya kasih sayang dan rasa aman yang dipancarkan
dari dada wanita itu. Ia seolah merasakan dan mendengar
lewat dekapan itu bahwa daripada berpisah lebih baik
mereka mati bersama. Matanya basah ketika ia keluar dari
kamar dan menghampiri suaminya yang sedang membaca
koran: "Geraldo, saya adalah anak seorang pengemis,
dan mungkinkah ibu saya masih ada di jalan sekarang
setelah 25 tahun?" Itu adalah awal dari kegiatan baru
mereka mencari masa lalu Serrafonna.

Foto hitam-putih yang kabur itu diperbanyak puluhan ribu
lembar dan disebar ke seluruh jaringan kepolisian diseluruh
negeri. Sebagai anak satu-satunya dari bekas pejabat yang
cukup berpengaruh di kota itu, Serrafonna mendapatkan
dukungan dari seluruh kantor kearsipan, kantor surat
kabar dan kantor catatan sipil. Ia membentuk
yayasan-yayasan untuk mendapatkan data dari seluruh
panti-panti orang jompo dan badan-badan sosial di seluruh
negeri dan mencari data tentang seorang wanita.
Bulan demi bulan lewat, tapi tak ada perkembangan apapun
dari usahanya. Mencari seorang wanita yang mengemis
25 tahun yang lalu di negeri dengan populasi 90 juta bukan
sesuatu yang mudah. Tapi Serrafona tidak punya pikiran
untuk menyerah. Dibantu suaminya yang begitu penuh
pengertian, mereka terus menerus meningkatkan
pencarian mereka. Kini, tiap kali bermobil, mereka sengaja
memilih daerah-daerah kumuh, sekedar untuk lebih akrab
dengan nasib baik. Terkadang ia berharap agar ibunya
sudah almarhum sehingga ia tidak terlalu menanggung dosa
mengabaikannya selama seperempat abad. Tetapi ia tahu,
entah bagaimana, bahwa ibunya masih ada, dan sedang
menantinya sekarang. Ia memberitahu suaminya
keyakinan itu berkali-kali, dan suaminya
mengangguk-angguk penuh pengertian.

Pagi, siang dan sore ia berdoa: "Tuhan, ijinkan saya untuk
satu permintaan terbesar dalam hidup saya: temukan saya
dengan ibu saya".
Tuhan mendengarkan doa itu. Suatu sore mereka
menerima kabar bahwa ada seorang wanita yang mungkin
bisa membantu mereka menemukan ibunya.
Tanpa membuang waktu, mereka terbang ke tempat itu,
sebuah rumah kumuh di daerah lampu merah,
600 km dari kota mereka. Sekali melihat, mereka tahu
bahwa wanita yang separoh buta itu, yang kini terbaring
sekarat, adalah wanita di dalam foto. Dengan suara
putus-putus, wanita itu mengakui bahwa ia memang
pernah mencuri seorang gadis kecil ditepi jalan,
sekitar 25 tahun yang lalu. Tidak banyak yang diingatnya,
tapi diluar dugaan ia masih ingat kota dan bahkan potongan
jalan dimana ia mengincar gadis kecil itu dan kemudian
menculiknya. Serrafona memberi anak perempuan yang
menjaga wanita itu sejumlah uang, dan malam itu juga
mereka mengunjungi kota dimana Serrafonna diculik.
Mereka tinggal di sebuah hotel mewah dan mengerahkan
orang-orang mereka untuk mencari nama jalan itu.
Semalaman Serrafona tidak bisa tidur. Untuk kesekian
kalinya ia bertanya-tanya kenapa ia begitu yakin bahwa
ibunya masih hidup sekarang, dan sedang menunggunya,
dan ia tetap tidak tahu jawabannya.


Dua hari lewat tanpa kabar. Pada hari ketiga, pukul 18:00 senja,
mereka menerima telepon dari salah seorang staff mereka.
"Tuhan maha kasih, Nyonya, kalau memang Tuhan mengijinkan,
kami mungkin telah menemukan ibu Nyonya. Hanya cepat
sedikit, waktunya mungkin tidak banyak lagi."
Mobil mereka memasuki sebuah jalanan yang sepi,
dipinggiran kota yang kumuh dan banyak angin.
Rumah-rumah di sepanjang jalan itu tua-tua dan kusam.
Satu, dua anak kecil tanpa baju bermain-main ditepi jalan.
Dari jalanan pertama, mobil berbelok lagi kejalanan yang
lebih kecil, kemudian masih belok lagi kejalanan berikutnya
yang lebih kecil lagi. Semakin lama mereka masuk dalam
lingkungan yang semakin menunjukkan kemiskinan.
Tubuh Serrrafona gemetar, ia seolah bisa mendengar
panggilan itu. "Lekas, Serrafonna, mama menunggumu,
sayang". Ia mulai berdoa "Tuhan, beri saya setahun untuk
melayani mama. Saya akan melakukan apa saja".
Ketika mobil berbelok memasuki jalan yang lebih kecil,
dan ia bisa membaui kemiskinan yang amat sangat,
ia berdoa: "Tuhan beri saya sebulan saja". Mobil belok
lagi kejalanan yang lebih kecil, dan angin yang penuh derita
bertiup, berebut masuk melewati celah jendela mobil yang
terbuka. Ia mendengar lagi panggilan mamanya, dan ia
mulai menangis: "Tuhan, kalau sebulan terlalu banyak,
cukup beri kami seminggu untuk saling memanjakan".

Ketika mereka masuk belokan terakhir,
tubuhnya menggigil begitu hebat sehingga Geraldo
memeluknya erat-erat. Jalan itu bernama Los Felidas.
Panjangnya sekitar 180 meter dan hanya kekumuhan yang
tampak dari sisi ke sisi, dari ujung keujung.
Di tengah-tengah jalan itu, di depan puing-puing sebuah toko,
tampak onggokan sampah dan kantong-kantong plastik,
dan ditengah-tengahnya, terbaring seorang wanita tua
dengan pakaian sehitam jelaga, tidak bergerak-gerak.
Mobil mereka berhenti diantara 4 mobil mewah lainnya
dan 3 mobil polisi. Di belakang mereka sebuah ambulans
berhenti, diikuti empat mobil rumah sakit lain. Dari kanan
kiri muncul pengemis-pengemis yang segera memenuhi
tempat itu.
"Belum bergerak dari tadi." Lapor salah seorang.
Pandangan Serrafona gelap tapi ia menguatkan dirinya
untuk meraih kesadarannya dan turun.
Suaminya dengan sigap sudah meloncat keluar,
memburu ibu mertuanya.
"Serrafona, kemari cepat! Ibumu masih hidup, tapi kau
harus menguatkan hatimu."

Serrafona memandang tembok dihadapannya, dan ingat
saat ia menyandarkan kepalanya ke situ. Ia memandang
lantai di kakinya dan ingat ketika ia belajar berjalan.
Ia membaui bau jalanan yang busuk, tapi mengingatkannya
pada masa kecilnya. Air matanya mengalir keluar ketika
ia melihat suaminya menyuntikkan sesuatu ke tangan
wanita yang terbaring itu dan memberinya isyarat untuk
mendekat. "Tuhan", ia meminta dengan seluruh jiwa raganya,
"beri kami sehari, Tuhan, biarlah saya membiarkan mama
mendekap saya dan memberitahunya bahwa selama
25 tahun ini hidup saya amat bahagia. Jadi mama tidak
menyia-nyiakan saya". Ia berlutut dan meraih kepala
wanita itu kedadanya. Wanita tua itu perlahan membuka
matanya dan memandang keliling, ke arah kerumunan
orang-orang berbaju mewah dan perlente, ke arah
mobil-mobil yang mengkilat dan ke arah wajah penuh air
mata yang tampak seperti wajahnya sendiri ketika ia
masih muda. "Mama....", ia mendengar suara itu, dan ia
tahu bahwa apa yang ditunggunya tiap malam - antara
waras dan tidak - dan tiap hari - antara sadar dan tidak -
kini menjadi kenyataan. Ia tersenyum, dan dengan seluruh
kekuatannya menarik lagi jiwanya yang akan lepas.
Perlahan ia membuka genggaman tangannya,
tampak sebentuk anting-anting yang sudah menghitam.
Serrafona mengangguk, dan tanpa perduli sekelilingnya ia
berbaring di atas jalanan itu dan merebahkan kepalanya
di dada mamanya.
"Mama, saya tinggal di istana dan makan enak tiap hari.
Mama jangan pergi dulu. Apapun yang mama mau bisa kita
lakukan bersama-sama. Mama ingin makan, ingin tidur,
ingin bertamasya, apapun bisa kita bicarakan.
Mama jangan pergi dulu... Mama..." Ketika telinganya
menangkap detak jantung yang melemah, ia berdoa lagi
kepada Tuhan: "Tuhan maha pengasih dan pemberi,
Tuhan..... satu jam saja.... ...satu jam saja....." Tapi dada
yang didengarnya kini sunyi, sesunyi senja dan puluhan
orang yang membisu. Hanya senyum itu, yang menandakan
bahwa penantiannya selama seperempat abad tidak
berakhir sia-sia.

0 komentar:

Posting Komentar