Sandal Jepit Isteriku 2

Selasa, 28 April 2009 0 komentar
Pertemuan hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan waktu
luang
ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-
tiba
saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku
mengaji. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini
pertanda acara belum selesai. Kuperhatikan sepatu yang berjumlah
delapan
pasang itu satu persatu.

Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal.
"Wanita, memang suka yang indah-indah, sampai bentuk sepatu pun
lucu-lucu," aku membathin sendiri. Mataku tiba-tiba terantuk
pandang
pada sebuah sendal jepit yang diapit sepasang sepatu indah. Dug!
Hati
ini menjadi luruh.
"Oh....bukankah ini sandal jepit isteriku?" tanya hatiku. Lalu
segera
kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu. Tes!
Air
mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru
sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan isteriku.
Sampai-sampai kemana ia pergi harus bersandal jepit kumal.
Sementara
teman-temannnya bersepatu bagus.
"Maafkan aku Maryam," pinta hatiku.
"Krek...," suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak, lantas
menyelinap ke tembok samping. Kulihat dua ukhti berjalan melintas
sambil
menggendong bocah mungil yang berjilbab indah dan cerah, secerah
warna
baju dan jilbab umminya. Beberapa menit setelah kepergian dua ukhti
itu,
kembali melintas ukhti-ukhti yang lain. Namun, belum juga kutemukan
Maryamku. Aku menghitung sudah delapan orang keluar dari rumah itu,
tapi
isteriku belum juga keluar. Penantianku berakhir ketika sesosok
tubuh
berabaya gelap dan berjilbab hitam melintas.
"Ini dia mujahidahku!" pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia
begitu
bersahaja. Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia
hanya
memakai baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya. Diam-diam
hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa karena selama ini kurang
memperhatikan isteri.

Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah membelikan
sepotong baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan
kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu begitu
banyak
kelebihanmu, wahai Maryamku. Aku benar-benar menjadi malu pada
Allah
dan
Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang
isteriku tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah berkata: "Yang
terbaik
di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya."
Sedang
aku..? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami
agar
menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku...? terlalu sering
ngomel
dan menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya.
Aku
benar-benar merasa menjadi suami terdzalim!!!
"Maryam...!" panggilku, ketika tubuh berabaya gelap itu melintas.
Tubuh
itu lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan
ketidakpercayaan atas kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian
terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia.
"Abi...!" bisiknya pelan dan girang. Sungguh, aku baru melihat
isteriku
segirang ini. "Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput
isteri?"
sesal hatiku.

***

Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal
itu,
senyum bahagia kembali me-ngembang dari bibirnya. "Alhamdulillah,
jazakallahu...,"ucapnya dengan suara tulus. Ah, Maryam, lagi--lagi
hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal menyerbu hatiku.
Kenapa
baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri zuhud dan 'iffah
sepertimu?
Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan
matamu
yang berbinar-binar karena perhatianku...?
edi354 Sedang Offline Penilaian Reputasi edi354
Reply With Quote

0 komentar:

Posting Komentar